Industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi
atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunaannya,
termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Dengan demikian,
industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan industri diambil
secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga menghasilkan
barang yang bernilai lebih bagi masyarakat.
Kegiatan proses produksi dalam industri itu disebut
dengan perindustrian.
Dari definisi tersebut, istilah industri sering
disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing). Padahal, pengertian
industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang
ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Karena merupakan kegiatan
ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara
atau daerah.
Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan
perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri,
dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan
atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya,
pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan
baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan.
Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu
negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin
besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin
beranekaragam jenis industrinya.
Istilah industrialisasi secara ekonomi juga
diartikan sebagai himpunan perusahaan-perusahaan sejenis dimana kata industri
dirangkai dengan kata yang menerangkan jenis industrinya. Misalnya, industri obat-obatan,
industri garmen, industri perkayuan, dan sebagainya
A . KLASIFIKASI
INDUSTRI
1. Klasifikasi Industri berdasarkan Bahan Baku
Tiap-tiap industri membutuhkan bahan baku yang
berbeda, tergantung pada apa yang akan dihasilkan dari proses industri tersebut.
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat dibedakan menjadi :
·
Industri ekstraktif, yaitu industri yang
bahan bakunya diperoleh langsung dari alam. Misalnya: industri hasil pertanian,
industri hasil perikanan, dan industri hasil kehutanan
·
Industri nonekstraktif, yaitu industri
yang mengolah lebih lanjut hasilhasil industri lain. Misalnya: industri kayu
lapis, industri pemintalan, dan industri kain.
·
Industri fasilitatif atau disebut juga
industri tertier. Kegiatan industrinya adalah dengan menjual jasa layanan untuk
keperluan orang lain. Misalnya: perbankan, perdagangan, angkutan, dan
pariwisata.
2. Klasifikasi Industri berdasarkan Tenaga Kerja
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan,
industri dapat dibedakan menjadi:
·
Industri rumah tangga, yaitu industri
yang menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Ciri industri ini
memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota
keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya kepala rumah tangga itu
sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri
kerajinan, industri tempe/ tahu, dan industri makanan ringan.
·
Industri
kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang,
Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relative kecil, tenaga kerjanya
berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya:
industri genteng, industri batubata, dan industri pengolahan rotan.
·
Industri
sedang, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99
orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga
kerja memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki kemapuan
manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir, dan industri
keramik.
·
Industri besar, yaitu industri dengan
jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki
modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga
kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih
melalui uji kemapuan dan kelayakan (fit and profer test). Misalnya: industri
tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang.
3. Klasifikasi Industri berdasarkan Produksi yang
dihasilkan
Berdasarkan produksi yang dihasilkan, industri dapat
dibedakan menjadi:
·
Industri primer, yaitu industri yang
menghasilkan barang atau benda yang tidak perlu pengolahan lebih lanjut. Barang
atau benda yang dihasilkan tersebut dapat dinikmati atau digunakan secara langsung.
Misalnya: industri anyaman, industri konveksi, industri makanan dan minuman.
·
Industri sekunder, yaitu industri yang
menghasilkan barang atau benda yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum
dinikmati atau digunakan. Misalnya: industri pemintalan benang, industri ban,
industri baja, dan industri tekstil.
·
Industri tertier, yaitu industri yang
hasilnya tidak berupa barang atau benda yang dapat dinikmati atau digunakan
baik secara langsung maupun tidak langsung, melainkan berupa jasa layanan yang
dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat. Misalnya: industri
angkutan, industri perbankan, industri perdagangan, dan industri pariwisata.
4. Klasifikasi Industri berdasarkan Bahan Mentah
Berdasarkan bahan mentah yang digunakan, industri
dapat dibedakan menjadi:
·
Industri pertanian, yaitu industri yang
mengolah bahan mentah yang diperoleh dari hasil kegiatan pertanian. Misalnya:
industri minyak goreng, Industri gula, industri kopi, industri teh, dan
industri makanan.
·
Industri pertambangan, yaitu industri
yang mengolah bahan mentah yang berasal dari hasil pertambangan. Misalnya:
industri semen, industri baja, industri BBM (bahan bakar minyak bumi), dan
industri serat sintetis.
·
Industri jasa, yaitu industri yang
mengolah jasa layanan yang dapat mempermudah dan meringankan beban masyarakat
tetapi menguntungkan. Misalnya: industri perbankan, industri perdagangan,
industri pariwisata, industri transportasi, industri seni dan hiburan.
5. Klasifikasi Industri berdasarkan Lokasi Unit
Usaha
Keberadaan suatu industri sangat menentukan sasaran
atau tujuan kegiatan industri. Berdasarkan pada lokasi unit usahanya, industri
dapat dibedakan menjadi:
·
Industri berorientasi pada pasar (market
oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah persebaran
konsumen.
·
Industri berorientasi pada tenaga kerja
(employment oriented industry), yaitu industri yang didirikan mendekati daerah
pemusatan penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak angkatan kerja tetapi
kurang pendidikannya.
·
Industri berorientasi pada pengolahan
(supply oriented industry), yaitu industri yang didirikan dekat atau ditempat
pengolahan. Misalnya: industri semen di Palimanan Cirebon (dekat dengan batu
gamping), industri pupuk di Palembang (dekat dengan sumber pospat dan amoniak),
dan industri BBM di Balongan Indramayu (dekat dengan kilang minyak).
·
Industri berorientasi pada bahan baku,
yaitu industri yang didirikan di tempat tersedianya bahan baku. Misalnya:
industri konveksi berdekatan dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan
berdekatan dengan pelabuhan laut, dan industri gula berdekatan lahan tebu.
·
Industri yang tidak terikat oleh
persyaratan yang lain (footloose industry), yaitu industri yang didirikan tidak
terikat oleh syarat-syarat di atas. Industri ini dapat didirikan di mana saja,
karena bahan baku, tenaga kerja, dan pasarnya sangat luas serta dapat ditemukan
di mana saja. Misalnya: industri elektronik, industri otomotif, dan industri
transportasi.
6. Klasifikasi industri berdasarkan proses produksi
Berdasarkan proses produksi, industri dapat
dibedakan menjadi:
·
Industri hulu, yaitu industri yang hanya
mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri ini sifatnya hanya
menyediakan bahan baku untuk kegiatan industri yang lain. Misalnya: industri
kayu lapis, industri alumunium, industri pemintalan, dan industri baja.
·
Industri
hilir, yaitu industri yang mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi
sehingga barang yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau dinikmati oleh
konsumen. Misalnya: industri pesawat terbang, industri konveksi, industri
otomotif, dan industri meubeler.
7. Klasifikasi industri berdasarkan barang yang
dihasilkan
Berdasarkan barang yang dihasilkan, industri dapat dibedakan menjadi
·
Industri berat, yaitu industri yang
menghasilkan mesin-mesin atau alat produksi lainnya. Misalnya: industri
alat-alat berat, industri mesin, dan industri percetakan.
·
Industri ringan, yaitu industri yang
menghasilkan barang siap pakai untuk dikonsumsi. Misalnya: industri obat-obatan,
industri makanan, dan industri minuman.
8. Klasifikasi industri berdasarkan modal yang
digunakan
Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat
dibedakan menjadi:
·
Industri dengan penanaman modal dalam
negeri (PMDN), yaitu industri yang memperoleh dukungan modal dari pemerintah
atau pengusaha nasional (dalam negeri). Misalnya: industri kerajinan, industri
pariwisata, dan industri makanan dan minuman.
·
Industri dengan penanaman modal asing
(PMA), yaitu industri yang modalnya berasal dari penanaman modal asing.
Misalnya: industri komunikasi, industri perminyakan, dan industri pertambangan.
·
Industri dengan modal patungan (join
venture), yaitu industri yang modalnya berasal dari hasil kerja sama antara
PMDN dan PMA. Misalnya: industri otomotif, industri transportasi, dan industri
kertas.
9. Klasifikasi Industri berdasarkan subjek
pengelola
Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat
dibedakan menjadi:
·
Industri rakyat, yaitu industri yang
dikelola dan merupakan milik rakyat, misalnya: industri meubeler, industri
makanan ringan, dan industri kerajinan
·
Industri
negara, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik Negara yang dikenal
dengan istilah BUMN, misalnya: industri kertas, industri pupuk,
·
industri baja, industri pertambangan,
industri perminyakan, dan industri transportasi.
10. Klasifikasi Industri berdasarkan cara
pengorganisasian
Cara pengorganisasian suatu industri dipengaruhi
oleh berbagai factor, seperti: modal, tenaga kerja, produk yang dihasilkan, dan
pemasarannya. Berdasarkan cara pengorganisasianya, industri dapat dibedakan
menjadi:
·
Industri kecil, yaitu industri yang
memiliki ciri-ciri: modal relatif kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang
dari 10 orang biasanya dari kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan
lokasi pemasarannya masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri
kerajinan dan industri makanan ringan.
·
Industri
menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relative besar,
teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang, tenaga
kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas (berskala
regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri mainan anak-anak.
·
Industri
besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar, teknologi
canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah banyak dan
terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional. Misalnya: industri
barang-barang elektronik, industri otomotif, industri transportasi, dan
industri persenjataan.
B. PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI
Menteri Perindustrian
(Menperin) Mohamad S. Hidayat, hari ini, Rabu (15 Mei 2012) membuka secara
resmi Gelar Sepatu, Kulit, dan Fashion Produksi Indonesia dan Pameran Made in
Indonesia 2012 di Jakarta Convention Center (JCC). Kedua event berskala
nasional ini merupakan salah satu upaya Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
dengan pelaku industri untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat Indonesia
terhadap produk-produk dalam negeri. Berbagai
upaya telah dilakukan Pemerintah untuk mendongkrak penggunaan produk-produk
dalam negeri,baik melalui penerapan berbagai macam regulasi teknis dan tata
niaga untuk pengamanan pasar dalam negeri, serta program-program promosi
seperti kampanye cinta produk dalam negeri,
sosialisasiprodukdalamnegerimaupunpameran-pameran.
Sejalan
dengan hal itu, Kemenperin telah melakukan empat langkah strategis.
Pertama, restrukturisasi Industri. Langkah ini terkait dengan pemanfaatan
teknologi yang efisien, hemat energi, dan ramah lingkungan melalui
restrukturisasi permesinan atau peralatan produksi yang lebih eco-friendly.
Misalnya pada industri tekstil dan alas kaki, industri gula, serta industri
pupuk.
Kedua, menjamin
kecukupan bahan baku yang terkait dengan pengembangan industri hulu seperti
industri gas,kimia dasar, danlogamdasar. Ketiga, peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) industri melalui fasilitasi pembangunan unit pelayanan
teknis (UPT) untuk mendukung pelatihan dengan keahlian khusus di bidang
industri. Keempat, perbaikan pelayanan publik melalui birokrasi yang efektif,
efisien, dan akuntabel. Sementara itu, di bidang perdagangan, Kemenperin telah
melakukan inisiatif untuk penguatan pasar dalam negeri melalui penerapan
Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk industri, kebijakan Tata
Niaga seperti penerapan Importir Produsen (IP) maupun Importir Terdaftar (IT),
penerapan trade defends seperti safeguard, anti dumping, dan countervailing
duties, serta optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) di
semua lini kehidupan dan kegiatan perekonomian.
Upaya-upaya tersebut
telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan, di mana pertumbuhan industri
non-migas pada akhir tahun 2011 mencapai 6,83% lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,46%. “Kita semua patut mensyukuri hal tersebut, di mana
peningkatan itu merupakan yang pertama kali sejak tahun 2005,” ungkapnya.
Menperin menjelaskan, jika tercatat pertumbuhan industri di atas pertumbuhan
ekonomi, itu menjadi salah satu indikator pergerakan dan pertumbuhan industri
dalam negeri ke arah yang positif.
Selain itu, Menperin
juga mengungkapkan, kenaikan laju pertumbuhan dialami kelompok industri
tekstil, barang kulit, dan alas kaki sebesar 7,52% dengan produktivitasnya
sekitar 17% dan tambahanpenyerapan tenagakerja baru sebanyak55.000 orang, serta
penghematan energi mencapai 6-18%. “Dengan hasil tersebut, kita
dapatmerasaoptimis bahwaupaya-upaya yang telah dilakukan Kemenperin untuk
peningkatan daya saing dan penguatan pasar dalam negeri akanmemberdampak yang
positifbagiperekonomian Indonesia,” urainya.
Peningkatan kemampuan industri dalam
negeri harus dipacu melalui kegiatan verifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri
(TKDN) sesuai Instruksi Presiden RI nomor 2 Tahun 2009 tentang
PenggunaanProduksiDalamNegeri. Menurut Menperin, hal tersebut penting dilaksanakan
untuk mengukur kemampuan industri nasional dalam menghadapi dinamisme
persaingan industri secara global. Berbagai
kebijakan diarahkan kepada optimalisasi penggunaan produk dalam negeri,
terutama pada pengadaan barang atau jasa oleh Pemerintah. Hal ini sesuai
Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Sehingga nantinya diharapkan TKDN akan
tampil sebagai identitas suatu produk industri dalam negeri.
C. SEKTOR INDUSTRI MIGAS MERUPAKAN PENYUMBANG DEVISA
TERBESAR KE APBN
Industri migas menjadi
penggerak utama pembangunan di Indonesia dimulai sejak dimulainya produksi
minyak besar-besaran yang meningkat tajam di tahun 1970. Dalam kerangka APBN
masa Orde Baru, migas merupakan motor penggerak utama sebagai sumber devisa
Negara serta sebagai modal dasar pembangunan. Proporsi (prosentase) penerimaan
migas dalam APBN dari awal repelita hingga akhir repelita terus menurun dari
sebesar 60% hingga mencapai hanya 17% saja. Produksi nasional riil (diukur
dengan Produk Domestik Bruto) di dalam tahun takwim 1973 diperkirakan telah
meningkat menjadi kurang lebih 42 persen lebih besar daripada nilai tahun 1968,
atau suatu laju pertumbuhan rata-rata sekitar 7 persen setiap tahun. Penerimaan
dari migas terutama dipengaruhi oleh kapasitas produksi dan tingkat konsumsi
BBM dalam negeri, Upaya untuk mengembangkan kapasitas sektor migas yang telah
dilaksanakan sejak Repelita I telah berhasil meningkatkan produksi minyak bumi
dari 219,9 juta barel dalam tahun 1968 menjadi 616,5 juta barel dalam tahun
1977/78. Sejak itu produksi minyak mulai menurun yang disebabkan oleh penurunan
produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan minyak tua. Sementara itu konsumsi
dalam negeri meningkat terus. Pada tahun 1987/88 produksi minyak bumi menjadi
507,9 juta barel sehingga kapasitas ekspor juga turun. Untuk itu selama 5 tahun
terakhir telah dilaksanakan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan
produksi dan menghemat penggunaan BBM.
Prosentase penerimaan
migas pada akhir Repelita V, sebenarnya sudah menurun jauh, hanya sekitar
15-17% saja dari total penerimaan APBN. Beban subsidi yg diperhitungkan dari
harga keekonomian danharga jual ke public masih belum dirasakan karena harga
minyak masih relative rendah <30$/bbl.
Migas itu energy bukan
sekedar komoditi.
Kondisi industri
Indonesia masa reformasi memperlihatkan penurunan produksi. Namun
penemuan-penemuan migas sangat kurang akibat semakin sedikitnya pengeboran
sumur-sumur eksplorasi. Kurangnya kegiatan pengeboran inilah yang dikhawatirkan
nantinya akan menjadi masalah utama ketika harga migas melambung dan subsidi
semakin memberatkan APBN. Dalam APBN sumbangan migas masih sangat tinggi,
tetapi ini bukan disebabkan karena kesuksesan industry migas dalam meingkatkan
produksi maupun dalam menemukan lapangan baru. Beban subsidi ditambah beban
biaya produksi (cost-recovery) menjadikan ketimpangan dalam memahami kondisi
migas di Indonesia.
Peningkatan proporsi penerimaan migas tahun
2000 ini terpicu oleh naiknya harga minyak mentah dunia. Namun kenaikan ini
berdampak pada profil APBN tahun-tahun berikutnya dimana subsidi minyak menjadi
beban yang memberatkan dan juga menyulitkan penempatan migas dalam APBN.
dari data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Industri
Migas telah memberikan sumbangan sangat signifikan dalam pembangunan di
Indonesia terutama sejak Orde Baru. Saat ini migas (minyak dan gas) sudah harus
ditinjau sebagai sumber energy bukan hanya sumber devisa walaupun sumbangan
pemasukan migas dalam APBN pmasih sekitar 25%. Sumbangan dan peran migas dalam
pembangunan di Indonesia masih sangat diperlukan namun saat ini merupakan masa
krisis dan kritis untuk menentukan langkah selanjutnya dalam memposisikan migas
didalam struktur APBN, dalam strategi pembangunan jangka panjang (MP3EI).
Kenaikan harga keekonomian migas (energy) memerlukan peninjauan dalam system
subsidi yang tidak membebani rakyat dan tidak membebani APBN. Tantangan untuk
meningkatkan produksi migas di Indonesia terletak pada usaha eksplorasi
(pencarian lapangan baru). Terutama untuk mencari lapangan baru di Indonesia
Timur serta pencarian prospek-prospek di daerah yang masih memiliki potensi
Indonesia Barat, termasuk juga migas nonconventional (unconventional oil-gas)
SUMBER :
http://www.kemenperin.go.id/artikel/3313/Menperin-Mendorong-Peningkatan-Daya-Saing-Industri-Nasional
0 komentar:
Posting Komentar